DIAGNOSTIK
KESULITAN BELAJAR
Tujuan:
Setelah
menyelesaikan bab ini, anda diharapkan dapat:
1. menjelaskan
kembali konsep dasar kesulitan belajar
2.
mengidentifikasi beberapa kasus kesulitan belajar dengan memberikan contoh-
Contohnya
3. mengidentifikasi
factor-faktor yang merupakan latar belakang kesulitan belajar
1. Konsep Dasar Diagnostik Kesulitan
Belajar
a. Pengertian
Diagnosis
Sebelum menetapkan alternative
pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan untuk
terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala dengan cermat)
terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang
melanda siswa tersebut.Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan
menetapkan “jenis penyakit” yakni jenis kesulitan belajar siswa.Diagnosis
merupakan istilah teknis (terminology) yang kita adopsi dari budang medis.
Menurut Thorndike dan Hagen,
diagnosis dapat diartikan sebagai:
(1) upaya atau
proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness, disease) apa yang
Dialami seseorang dengan melalui
pengujian dan studi yang saksama mengenai gejala
Gejalanya (symptom)
(2) studi yang
saksama terhadap fakta tentang sustu hal untuk menemukan karakteristik
Atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya
yang esensial
(3) kepuusan
yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang saksama atas gejala-gejala
Atau fakta
tentang suatu hal
b. Pengertian
Kesulitan Belajar
Burton (1952:622-624) mengidentifikasikan
bahwa seorang siswa dapat dianggap mengalami kesulitan belajar jika yang
bersangkutan mengalami kegagalan (failure) tertentu dalam mencapai
tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan belajar didefinisikan oleh Burton sebagai berikut:
- Siswa dikatakan gagal apabila dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan (level of mastery) minimal dalam pelajaran tertentu seperti yang telah ditetapkan oleh orang dewasa atau guru
- Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak dapat mencapai prestasi
Yang
semestinya, sedangkan dalam prediksi hal tersebut dapat ia raih dengan hasil
yang memuaskan
- Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat
Penguasaan
(level of mastery) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan
Pada
tingkat pelajaran berikutnya.
c.
Mengidentifikasi kasus kesulitan belajar
Pada halaman berikut ini dijelasakan
beberapa langkah operasional diagnosis kesulitan belajar.
1. Dengan metode criterion referenced, maksudnya tes
yag mengasumsikan bahwa instrument evaluasi atau soal yang digunakan telah
dikembangkan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Tahapannya adalah sebagai
berikut:
a.
menetapkan angka nilai kualitatif minimal yang dapat diterima, misalnya 5,0
atau
6,0
b.
membandingkan prestasi dari setiap siswa dengan angka nilai batas lulus
tersebut.
Secara teoritis, mereka yang angka nilai
prestasinya berada di bawah lulus sudah
dapat
diduga sebagai siswa yang mengalami kesulitan belajar.
c.
menghimpun siswa yang diduga mengalami kesulitan
belajar serta mencari siswa yang
mengalami gejala terparah (yang nilainya di bawah siswa penderita kesulitan
belajar lainnya)
d.
membuat rangking/tingkatan guna mempermudah dalam
pemberian prioritas layanan psikologis
Dengan hasil penandaaan itu maka dapat diaktakan bahwa kelas atau
individu-individu tersebut memerlukan bimbingan belajar karena prestasinya
belum memenuhi harapan (seperti yang digariskan dalam TIK).
2. Dengan metode
norm-references, maksudnya nilai prestasi rata-rata dijadikan ukuran
Pembanding bagi setiap nilai prestasi individu masing-masing siswa.
Tahapannya adalah sebagai berikut:
a.
mencari dan menghitung nilai rata-rata kelas atau
kelompok
b.
menandai siswa-siswa yang nilainya di bawah rata-rata
c.
jika mau diadakan prioritas layanan bimbingan, terlebih
dahulu harus membuat rangking seperti pada metode pertama
Sedangkan menurut Burton
(1952:640-652) penggolongan tahapan-tahapan diagnosis tidak didasarkan pada
usaha penanganan, tetapi didasarkan pada tehnik dan instrument yang digunakan
dalam pelaksanaannya, seperti di bawah ini:
1.
General Diagnosis
Pada tahap ini lazim dipergunakan tes baku, seperti yang dipergunakan untuk
evaluasi dan pengukuran psikologis dan hasil belajar. Sasarannya, untuk
menemukan siapakah siswa yang diduga mengalami kelemahan tertentu.
2.
Analistic Diagnosis
Pada tahap ini yang lazim digunakan ialah tes diagnostic. Sasarannya,
untuk mengetahui dimana letak kelemahan terebut.
3.
Psychological Diagnosis
Pada tahap ini tehnik pendekatan dan instrumen yang digunakan antara
lain:
a.
Observasi
b.
Analisis Karya Tulis
c.
Analisis Proses dan Respon Lisan
d.
Analisis berbagai catatan objektif
e.
Wawancara
f.
Pendekatan laboratories dan klinis
g.
Studi Kasus
Sasaran kegiatan diagnosis pada langkah
ini pada dasarnya digunakan untuk
memahami karakteristik dan factor-faktor penyebab terjadinya kesulitan. Jika
output dari layanan bimbingan belajar berupa perubahan pada diri siswa
(terbimbing). Setelah menjalani tindakan penyembuhan (treatment). Maka output
dari layanan diagnosis kesulitan belajar hanya sampai pada rekomendasi tentang
kemungkinan alternative tindakan penyembuhan.
d.
Mengidentifikasi Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Pada dasarnya bila setiap kesulitan
belajar terjadi, latar belakangnya akan bersumber pada komponen-komponen yang
berpengaruh atas berlangsungnya proses belajar-mengajar sendiri. Berbagai
variable yang mempengaruhi proses belajar-mengajar menurut Loree (1970;121-133)
terdiri atas: 1)Stimulus atau learning Variables, 2) Organismic Variables, 3)
Response Variables
1. Learning
Variables, mencakup
a. Learning Experience Variables, antara
laian mengenai
1. Method
Variables, menyangkut kuat lemahnya motivasi untuk belajar, intensif tidaknya
bimbingan guru dan ada-tidaknya kesempatan untuk praktikum
2. Task Variables, mencakup menarik-tidaknya apa yang harus
dipelajari, bermakna-tidaknya apa yang dipelajari dan tersedia-tidaknya
fasilitas belajar yang memadai
b.
Environmental Variables, yang menyangkut iklim belajar yang bergantung pada
factor tersedianya waktu yang cukup untuk belajar dan tersedianya fasilitas
belajar yang memadai
2. Organismic
Variables, mencakup
a.
Characteristic of the learners, anatra lain tingkatan intelegensi, usia dan
taraf kematangan, jenis kelamin dan kesiapan belajar
b. Mediating
Processs, kondisi yang lazim terdapat dalam diri siswa, antara lain intlegensi,
persepsi, motivasi, takut, cemas, dan tekanan batin dan sebagainya turut
berperan dalam proses berperilaku belajar
3. Response
Variables, jika dikelompokkan berdasarkan tujuan pendidikan dapat dilihat
sebagai berikut:
a. Tujuan-tujuan
kognitif, seperti pengetahuan,
konsep-konsep dan keterampilan
pemecahan masalah.
b.
Tujuan-tujuan afektif, seperti sikap-sikap,
nilai-nilai, minat dan apresiasi
c.
Tujuan-tujuan pola bertindak, antara lain:
-keterampilan psikomotoris, seperti menulis, mengetik, melukis,dsb
-kompetensi-kompetensi untuk menyelenggarakan pertemuan, berpidato,
Memimpin diskusi, pertujukan dsb.
-kebiasaan-kebiasaan, seperti kebiasaan hidup sehat, kejujuran dan
kerapian
Sedangkan menurut Burton
(1952:633-640), variable yang mempengaruhi proses belajar mengajar dapat
dikelompokkan menjadi dua factor, yaitu factor dari dalam diri siswa dan factor
dari luar diri siswa.
1. factor-faktor dari dalam diri siswa antara lain:
a. kelemahan secara fisik, seperti tidak berkembangnya
susunan syaraf pusat karena cacat atau sakit, kurang berkembangnya panca indra
sehingga menyulitkan proses interaksi penyakit menahun dan ketidakseimbangan
perkembangan dan reproduksi
b.Kelemahan-kelemahan secara mental,
seperti cacat mental, kurang semangat, serta trauma
c. Kelemahan-kelemahan emosional,
seperti terdapatnya rasa tidak aman,
tercekam, rasa phobia, maupun
ketidakmatangan
d. Kelemahan-kelemahan yang disebabkan oleh kebiasaan
yang salah, seperti banyak melakukan
kegiatan yang bertentangan dengan aktivitas sekolah
e. Tidak memiliki keterampilan dan
pengetahuan dasar yang diperlukan, seperti
membaca, menghitung, dsb
2. Faktor-faktor dari luar diri siswa, antara lain:
a. Kurikulum yang seragam
(uniform), bahan dan buku sumber yang tidak
sesuai dengan tingkat-tingkat
kematangan
b. Terlalu berat beban
belajar/mengajar bagi siswa/guru
c. Terlalu besar populasi siswa
dalam kelas
d. Terlalu banyak terlibat dalam kegiatan
ekstrakurikuler
e. Kurang gizi
Bruner and Bruner (1972)
yang melakukan studi terhadap masalah putus sekolah di Indonesia, dari segi antropologis
ternyata menemukan kelemahan-kelemahan structural yang fundamental, antara
lain:
1.
Pandangan masyarakat (orangtua) yang salah terhadap
pendidikan
2.
Adanya falsafah hidup “nrimo ing pandum” atau dengan
kata lain tidak memiliki motif berprestasi ( n-Ach)
3.
Tradisi hidup social dan ekonomi yang terbelakang
Jika kita hubungkan dengan uraian-uraian diatas, maka jika terdapat kasus
kelemahan belajar dalam suatu kelas maka besar kemungkinan kelemahan itu bukan
bersumber pada kelemahan siswa secara individual. Faktor yang memungkinkan
terjadinya hal ini dapat berupa kualifikasi guru yang tidak memadai, system
belajar-mengajar yang digunakan, pola ruangan keas atau bahkan system penilaian
yang merugikan siswa.
Bermacam-macam cara yang dapat digunakan untuk mengetahui sumber
kelemahan belajar baik untuk kasus kesulitan belajar perkelompok maupun
perindividu dan apakah dari dalam atau dari luar diri siswa. Diantaranya dengan
mengetes IQ siswa, tes bahasa dan bilangan, penganalisisan cara belajar siswa
ataupun dengan bantuan dokter ahli jiwa.
e. Kesimpulan
dan Pembuatan Rekomendasi Pemecahan Kasus
Jika terdapat kasus kesulitan
belajar seperti teresbut di atas, maka hendaknya 1) menarik kesimpulan umum, 2)
membuat perkiraan, apakah masalah itu mungkin untuk diatasi, selanjutnya 3)
memberikan saran tentang kemungkinan cara mengatasinya.
1. Untuk Kasus
Kelompok
Jika mayoritas siswa nilai
prestasinya tidak dapat mencapai batas lulus (minimum
Acceptable
performance), kita dapat menyimpulkan kelas yang bersangkutan patut diduga
sebagai kelas yang mengalami kesulitan belajar. Begitu juga dengan kelas yang
bernilai prestasi kelas dibawah kelas yang setaraf, kelas ini juga patut diduga
sebagai kelas yang mengalami kesulitan belajar.
Jika fakta di atas ternyata terjadi
pada banyak bidang sudi, dapat diduga bahwa letak kelemahan bersifat integral
(menyeluruh) yang menyangkut keseluruhan aspek kurikulum dan system pengajaran
di kelas/sekolah yang bersangkutan, tetapi kalau kasus tersebut hanya terjadi
pada bidang studi tertentu, amka kelemahannya dapat dilokalisasikan pada system
instruksional khusus yang dipergunakan oleh guru bidang studi.
Estimasi (perrkiraan) dan saran
kemungkinan cara mengatasi kasus diatas dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
mendefinisikan 1) jenis dan sumber penyebab masalahnya, dan 2) karaktersistik
berat/ringannya masalah. Sampai saat ini sumber penyebab masalah dapat
dikatakan dari luar diri siswa karena yang mengalami kesulitan hampir semua
siswa dalam satu kelas sedangkan karakteristik masalahnya adalah sangat mungkin
diatasi, berdasarkan gejala-gejala khas yang menyangkutkan kelompok.
Sedangkan kemungkinan cara mengatasi
adalah dengan program pengajaran khusus (pengayaan) jika kelemahannya bersumber
dari kurikulum. Jika kelemahnanya bersumber dari system evaluasi, maka
kemungkinan cara menagtasinya dengan pengembangan system penilaian yang
menggairahkan siswa. Sedangkan jika kelemahan terdapat pada factor kondisionla,
kemungkinan dapat diatasi dengan pemenuhan buku, laboratorium dan sebagainya.
2. Untuk Kasus
Individu
Jika ternyata sebagian krecil dari
siswa (± 5-25 %) yang angka pretasinya tidak memadai batas lulus dan atau lebih
kecil dari rata-rata nilai prestasi kelas, kita dapat langsung menyimpulkan
bahwa kasus kesulitan belajar itu bersifat individu.
Permasalahannya pun dapat
disimpulkan lebih lanjut:
a. bersifat
menyeluruh, jika ternyata kelemahnnya terjadi pada seluruh atau sebagian
besar bidang studi yang diikutinya
b. bersifat
segmental atau sektiral, jika ternyata kelemahnnya terjadi pada sebagian
bidang studi yang diikutinya
c. bersifat
personal, jika ternyata kelemahan itu bukan dalam segi prestasi studi tetapi
segi proses atau penyesuaian diri
Sedangkan sumber dan factor
penyebabnya dapat berupa factor organismik siswa yang bersangkutan, sukar
mengubah diir dengan pola-pola kebiasaan belajar yang lebih sesuai, sikap
menyepelekan system penilain partisipasi dan belum menguasai pengetahuan dasar.
Faktor dari luar diri siswa juga dapat berpengaruh pada hal ini, contohnya
hampir sama pada kasus kelompok yang sebelumnya telah dijelaskan.
Untuk mengatasi kasus individu ini,
sebelumnya harus kita bedakan dahulu, mana factor herditas/gen maka usaha
penyembuhan secara metodologis sangat kecil kemungkinanaya untuk mendapatkan
hasil. Yang diperlukan untuk siswa semacam ini adalah penyaluran/penjurusan
kepada program pendidikan tertentu yang sesuai dengan kemampuannya.
Jika kelemahannya bersumber dari
aspek orgnismik lainnya, seperti kebiasaan belajar, minat dari lingkungan, maka
penyembuhannya secara metodologis dapat diterapkan meskipun hasilnya baru dapat
dilihat dalam waktu yang relative lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar